20110907

GagasMedia's Challenge


This is only a mere fad. Just a hobby. Coincidence, GagasMedia open a challenge. Enjoy it.

"Tak ada yang lebih menyakitkan dari menatap dalam-dalam mata orang yang kau cinta dan menemukan bayangan orang lain di sana."
[1]
Tak ada yang lebih menyakitkan dari menatap dalam-dalam mata orang yang kau cinta dan menemukan bayangan orang lain di sana. Kamu dan dia, di satu waktu, di satu tempat. Hening. Lagi. Kau melihatnya, dia yang adalah masa lalunya, di mata dia yang adalah milikmu sekarang. Dia dan dia. Masihkah? "Lalu siapa yang ada di hatimu? Aku atau dia? Jelas hatimu masih dimiliki olehnya," kau hanya mampu berucap dalam hati. Dan kau menangis di dalam hati. Lagi.

[2]
Tak ada yang lebih menyakitkan dari menatap dalam-dalam mata orang yang kau cinta dan menemukan bayangan orang lain di sana. Dia menatap lembut, berkata bahwa dia mencintaimu dengan sepenuhnya dan kau tersenyum lembut. Dia tersenyum. Tanpa dia tahu bahwa kau melihatnya, orang lain, di matanya, bukan bayangan dirimu. Sampai kapan akan terus seperti ini? "Dia pikir aku tidak tahu. Haha," ucapmu dalam hati. Akankah dia terus bersandiwara di depanmu? "Balas! Balaslah dengan sandiwaramu juga!" bisik iblis di telingamu. "Ini memang terlalu sakit, aku tulus mencintainya, haruskah aku membalasnya? Tidak! Tidak akan! Biarlah aku nikmati ini sendiri," balas hati kecilmu

[3]
Tak ada yang lebih menyakitkan dari menatap dalam-dalam mata orang yang kau cinta dan menemukan bayangan orang lain di sana.
"Tiga bulan lagi, sayang," katanya sambil tersenyum. Aku hanya mambalas dengan senyum. Dia meraih tanganku lembut dan mencium tanganku.
"Kamu yakin?" tanyaku.
"Mengapa tidak?"
"Aku hanya tidak mau akhirnya kita tidak bahagia. Ingatkah arti kata bahagiamu?"
"Ya. Bahagiaku adalah kita masih bersama di usia lanjut. Dan kita akan wujudkan itu, bukan?"
"Apakah bahagia jika meskipun bersama namun masa lalu masih membayangi?"
"Kamu kenapa? Bukankah kita sudah menyepakatinya? Hei, dengar, aku mencintaimu, aku memilihmu," katanya meyakinkanku. Aku menunduk. Airmata pun tak enggan untuk jatuh membasahi pipiku.
"Aku....aku tidak bisa. Maafkan aku. Pergilah, kembalilah padaku jika kau sudah berhasil menghapus bayangannya. Maaf. Aku mencintaimu," ucapku terbata-bata.
Aku melepaskan genggaman tangannya, berdiri, berjalan ke arahnya, mencium keningnya, dan berlari sekuat tenaga. Berlari sejauh mungkin. Menghilangkan rasa sakit yang mendalam. Untuk sementara. Aku yakin dan percaya, Tuhan akan mempersatukan kami pada akhirnya. Suatu saat nanti.


[4]
"Tak ada yang lebih menyakitkan dari menatap dalam-dalam mata orang yang kau cintai dan menemukan bayangan orang lain di sana," ucap Rani dengan tatapan kosong lurus ke depan.
"Bahasa lo tinggi bener. Ada apa lagi sih? Nih," kata Ghea sambil menyodorkan sebungkus rokok kepada Rani. Rani meraihnya.
"Nih ya, gue kasih tau sama lo, untuk yang keseribu kalinya. Dia itu ga pantes dapetin elo. Elo kan cewek baik, pinter, cantik. Lo harusnya nyadar, Ran!"
"Talk to my hand!" Rani memajukan tangannya yang terbuka ke depan wajah Ghea.
"Kalo gini mah lo ga pinter. Ini lo BODOH!"
"BO-DO A-MAT!" balas Rani cuek. Ghea memindah posisi duduknya, mendekat kepada Rani.
"Ran, kalo udah kena perbedaan gini udah ga bisa lagi Ran. Lepasin aja deh. Lupain dia. Cari yang sama. Toh dia udah bisa kan ngelupain lo? Dia udah dapet yang baru kan? Dan lo liat sendiri kan, mereka berdua BAHAGIA! Lo mau jadi pengganggu buat mereka? Lo mau ngerusak kebahagiaan mereka? Bisa dia balik sama lo? NGGAK! Yang ada lo terus dihantui rasa bersalah, Ran! Lo sendiri yang hancur nantinya!"
"Gue tau, Ghe, gue tau! Tapi gue ga bisa segampang itu ngelupain dia! Lo ga tau rasanya jadi gue!" jawab Rani sambil terisak.
"Gue tau rasanya! Makanya gue nasehatin lo! Gue ga mau lo nangis terus-terusan! Alangkah baiknya lo buka lembaran baru. Hapus semua tentang dia! Sebisanya lo nggak ngeliat dia, di dunia maya sekalipun. Lo pasti bisa!" Ghea pun menitikkan airmatanya dan memeluk sahabatnya, Rani.
"Thank you ya, calon psikolog," Rani membalas pelukan Ghea dan mereka berdua tertawa bersama.
"CUT!" teriak sutradara sambil diiringi tepuk tangan yang meriah oleh para kru.



"Tanpa sepengetahuan orang-orang, aku menjauh dari keramaian dan menangis tanpa suara."

Pintu rumah Reno telah terbuka sejak jam 5 sore tadi. Tamu-tamu pun mulai memenuhi ruangan tamu hingga halaman belakang rumahnya itu. Aku sedari tadi sibuk mengantarkan berbagai macam makanan dan minuman kepada para tamu. Yaa, hitung-hitung membantu calon keluargaku ini, mungkin.
"Non Rianty, istirahat dulu sebentar, biar Mbok aja yang bawakan," kata Mboh Inem mengagetkanku.
"Eh Mbok, ndak papa kok, dari pada nganggur. Hehe."
Aku menemani Mbok di dapur hingga ponselku bergetar. Ada panggilan masuk. Dari Reno.
"Halo, Ren?"
"Ri, kamu dimana?"
"Aku di dapur, Ren, nemenin Si Mbok. Ada apa, Ren?"
"Sini deh kamu, ke kamarku sebentar. Penting nih."
Aku memutusdkan sambungan telepon dan bergegas menuju kamar Reno. Pintu kamarnya terbuka sedikit. Aku masuk.
"Sini deh, Ri," panggil Reno yang sedang membongkar lemarinya, mencari sesuatu. Aku menghampirinya.
"Apaan?"
Reno mengeluarkan sebuah kotak musik yang terlihat berdebu dan menunjukkan kepadaku. Aku menatap Reno dalam-dalam. Sejak kapan dia memiliki kotak musik ini?
"Ada sejarahnya, Ri. Ini udah gue simpen selama 8 tahun, Ri. Dan di dalam kotak musik ini ada tulisan yang gue buat 8 tahun lalu. Lo mau tau ndak?" Reno menarik tanganku dan membawaku ke balkon kamarnya. Kami duduk di lantai sambil menatap langit gelap.
"Dulu, 8 tahun lalu, gue lagi jalan di sebuah mall bareng nyokap. Dan saat itu nyokap beliin gue ini. Nah pas keluar dari toko itu, gue yang ga ngerti apa alesan nyokap beliin gue barang ini, gue kebelet pipis dan tanpa sadar gue ninggal kotak musik itu di sebuah meja di foodcourt. Gue kira nyokap udah bawa itu barang. Ternyata enggak. Gue lari balik ke tempat itu dan kotak musik gue udah ada di tangan seorang cewek. Gue minta baik-baik tapi dia ga mau ngasih. Akhirnya gue rebut dan ngelukain tangannya. Dia nangis dan gue lari," cerita Reno menggebu-gebu.
"Hm, terus?"
"Mulai saat itu gue janji kalo gue nemuin itu cewek, gue bakal jadiin dia pacar gue. Nah, disini gue nulis nama itu cewek yang ternyata adalah anak temen nyokap gue. Kemarin gue dapet info kalo ternyata dia udah balik dari luar negeri, Ri. Dan insya Allah dia bakal dateng malem ini ke acara ini, Ri. Gue ga sabar ketemu dia. Nanti deh gue kenalin sama dia. Dia cantiiiiiiikk banget, Ri," Reno bersemangat.
Aku terdiam. Aku merenung. Jadi selama ini dia anggap aku apa? Dia lebih memilih wanita yang hanya ia temui sekali daripada aku? Aku yang hampir setiap hari selama 5 tahun ini selalu bersama dia dan keluarganya. Memang, aku hanya menumpang. Tapi perlakuan keluarganya seakan memberi harapan untuk aku nantinya akan menjadi menantunya, menantu dari Ayah dan Bunda.
"Turun yuk," Reno berdiri dan meninggalkan aku di balkon kamarnya.
Setengah jam kemudian aku turun, bermaksud menuju dapur untuk membantu Mbok.
"Non, kemana aja? Tuh dicariin Mas Reno di halaman belakang," kata Mbok Inem.
Aku menuju halaman belakang dengan malas. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi.
"Ri! Sini, sayang," teriak Bunda.
Aku berjalan menghampiri Bunda. "Iya, Bun, ada apa?"
"Tuh lihat, Reno sama pacarnya, romantis ya. Kapan kamu ajak pacarmu?" kata Bunda sambil tersenyum. Reno dan Via. Via? Olivia? Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!
Olivia, adik tiriku. Aku cinta Reno. Mengapa seperti ini? Tanpa sepengetahuan orang-orang, aku menjauh dari keramaian dan menangis tanpa suara.

No comments:

Post a Comment